Tarian sufi
(beberapa sumber mengatakan 'sema') diciptakan
oleh Jalaluddin Rumi. Seorang Sufi yang dilahirkan di kota Balkh-Afghanistan, 30 September 1273.
Tarian berputar melawan arah
jarum jam ini merupakan paduan
warna dari tradisi, sejarah, kepercayaan, dan
budaya Turki. Kenapa
Berputar ? Menurut Profesor Zaki Saritoprak, pakar dan pemerhati pemikiran
Jalaluddin Rumi dari Monash University, Australia, berpandangan bahwa kondisi
dasar semua yang ada di dunia ini adalah berputar. Tidak ada satu benda dan makhluk
yang tidak berputar. Keadaan ini dikarenakan perputaran elektron, proton, dan
neutron dalam atom yang
merupakan
partikel terkecil penyusun semua benda atau makhluk.
Tarian sufi
yang didominasi gerakan berputar-putar mengajak akal untuk menyatu dengan
perputaran keseluruhan ciptaan dari tidak ada, ada, kemudian kembali
ke tiada. Berapa
Lama Berputar Dalam berputar, penari tidak memiliki patokan waktu tentang
“berapa lama ia harus berputar” atau “seberapa cepat putarannya”, tetapi penari
dituntut terus berputar hingga ia kehilangan emosi dan menyerahkan diri sepenuhnya
pada Yang Maha Kuasa.
Madzhab
Syafi’iyyah. Menurut para ulama Syafi’iyyah hukum Tarian adalah Mubah menurut
pendapat yang mu’tamad, kecuali jika ada tarian goyangan patah-patahnya seperti
yang dilakukan para bencong (laki-laki yang berpura-pura jadi perempuan), maka
hukumnya menjadi haram.
Syaikh Islam
Zakariyya al-Anshari mengatakan :
(ﻭﺍﻟﺮﻗﺺ ) ﺑﻼ ﺗﻜﺴﺮ ( ﻣﺒﺎﺡ ) ﻟﺨﺒﺮ ﺍﻟﺼﺤﻴﺤﻴﻦ } ﺃﻧﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ
ﻭﺳﻠﻢ ﻭﻗﻒ
ﻟﻌﺎﺋﺸﺔ ﻳﺴﺘﺮﻫﺎ ﺣﺘﻰ ﺗﻨﻈﺮ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺤﺒﺸﺔ ﻭﻫﻢ ﻳﻠﻌﺒﻮﻥ ﻭﻳﺰﻓﻨﻮﻥ ﻭﺍﻟﺰﻓﻦ
ﺍﻟﺮﻗﺺ { ﻷﻧﻪ
ﻣﺠﺮﺩ ﺣﺮﻛﺎﺕ ﻋﻠﻰ ﺍﺳﺘﻘﺎﻣﺔ ﺃﻭ ﺍﻋﻮﺟﺎﺝ ﻭﻋﻠﻰ ﺍﻹﺑﺎﺣﺔ ﺍﻟﺘﻲ ﺻﺮﺡ ﺑﻬﺎ
ﺍﻟﻤﺼﻨﻒ ﺍﻟﻔﻮﺭﺍﻧﻲ
ﻭﺍﻟﻐﺰﺍﻟﻲ ﻓﻲ ﻭﺳﻴﻄﻪ ﻭﻫﻲ ﻣﻘﺘﻀﻰ ﻛﻼﻡ ﻏﻴﺮﻫﻤﺎ ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻟﻘﻔﺎﻝ ﺑﺎﻟﻜﺮﺍﻫﺔ
ﻭﻋﺒﺎﺭﺓ ﺍﻷﺻﻞ
ﻣﺤﺘﻤﻠﺔ ﻟﻬﺎ ﺣﻴﺚ ﻗﺎﻝ ﻭﺍﻟﺮﻗﺺ ﻟﻴﺲ ﺑﺤﺮﺍﻡ ( ﻭﺑﺎﻟﺘﻜﺴﺮ ﺣﺮﺍﻡ ﻭﻟﻮ ﻣﻦ
ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ ) ﻷﻧﻪ
ﻳﺸﺒﻪ ﺃﻓﻌﺎﻝ ﺍﻟﻤﺨﻨﺜﻴﻦ
“ {Dan
ar-Raqsh/tarian} tanpa goyangan alay hukumnya mubah karena ada dalil dari dua
sahih Bukhari dan Muslim, bahwasanya Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam berdiri
untuk Aisyah dengan menutupinya sehingga Aisyah bias melihat kepada Habaysah
yang sedang bermain, berzafin dan
menari “,
karena hal itu hanyalah semata-mata gerakan kelurusan dan kebengkokan. Dan hukumnya
mubah sebagaimana ditegaskan si mushannif al-Faurani dan al-Ghazali dalam kitab
al-Wasithnya, itu juga ketentuan kalam lainnya. Al-Ghaffal mengatakannya
makruh. Redaksi yang pertama kemungkinan asalnya makruh, dengan sekiranya ia berkata,
“ Dan ar-Raqsh tidaklah haram (dan dengan goyangan alay maka hukumnya haram
meskipun dari wanita) karena itu menyerupai prilaku para bencong “[2]
Dalam Hasyiah
al-Qulyubi dan Umairah disebutkan :
( ﻻ ﺍﻟﺮﻗﺺ ) ﻗﺎﻝ ﺍﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﺍﻟﺪﻡ ﻟﻮ ﺭﻓﻊ ﺭﺟﻼ ﻭﻗﻌﺪ ﻋﻠﻰ ﺍﻷﺧﺮﻯ ﻓﺮﺣﺎ
ﺑﻨﻌﻤﺔ ﺍﻟﻠﻪ
ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻋﻠﻴﻪ ﺇﺫﺍ ﻫﺎﺝ ﺑﻪ ﺷﻲﺀ ﺃﺧﺮﺟﻪ ﻭﺃﺯﻋﺠﻪ ﻋﻦ ﻣﻜﺎﻧﻪ ، ﻓﻮﺛﺐ
ﻣﺮﺍﺭﺍ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﻣﺮﺍﻋﺎﺓ
ﺗﺰﻳﻦ ﻓﻼ ﺑﺄﺱ ﺑﻪ
“ {Dan bukan
ar-Raqsh} Ibnu Abi ad-Dam mengatakan, “ Seandainya seseorang mengangkat satu
kakinya dan duduk di atas satu kaki lainnya karena rasa gembira dengan nikmat
Allah Ta’ala, jika sesuatu mengobarkan hatinya, maka dia mengeluarkan kaki
satunya dan
menggoncangkannya
dari tempatnya, lalu melompat beberapa kali tanpa memperhatikan perhatian
manusia, maka itu tidaklah mengapa “. [3]
Imam an-Nawawi
mengatakan :
ﻻ ﺍﻟﺮﻗﺺ، ﺇﻻ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻓﻴﻪ ﺗﻜﺴﺮ ﻛﻔﻌﻞ ﺍﻟﻤﺨﻨﺚ
“ (Dan tidak
haram) ar-Raqhs (tarian) kecuali jika ada goyangan patahnya seperti perilaku
bencong “.[4]
Ibnu Hajar
al-Haitami mengatakan :
ﻭﺃﻣﺎ ﺍﻟﺮﻗﺺ ﻓﻼ ﻳﺤﺮﻡ ﻟﻔﻌﻞ ﺍﻟﺤﺒﺸﺔ ﻟﻪ ﻓﻲ ﺣﻀﺮﺗﻪ ﻣﻊ ﺗﻘﺮﻳﺮﻩ ﻋﻠﻴﻪ
“ Adapun
ar-Raqsh maka tidaklah haram karena perbuatan Habasyah di hadapan Nabi disertai
pengakuan Nabi kepadanya “.[5]
Dalam fatwa
beliau yang lain ketika ditanya tentang hukum tarian, beliau menjawab :
ﻧﻌﻢ ﻟﻪ ﺃﺻﻞ ﻓﻘﺪ ﺭُﻭﻯ ﻓﻰ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺃﻥّ ﺟﻌﻔﺮ ﺑﻦ ﺃﺑﻰ ﻃﺎﻟﺐ ﺭﺿﻰ ﺍﻟﻠﻪ
ﻋﻨﻪ ﺭﻗﺺ ﺑﻴﻦ
ﻳﺪﻯ ﺍﻟﻨﺒﻰ ﺻﻠّﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠّﻢ ﻟﻤّﺎ ﻗﺎﻝ ﻟﻪ ” ﺃﺷﺒﻬﺖ ﺧَﻠﻘﻰ
ﻭﺧُﻠﻘﻰ ” ﻭ ﺫﻟﻚ ﻣﻦ
ﻟﺬّﺓ ﺍﻟﺨﻄﺎﺏ ﻭ ﻟﻢ ﻳﻨﻜﺮ ﻋﻠﻴﻪ ﺻﻠّﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠّﻢ
“ Ya, tarian
memiliki dasar pijakannya. Sungguh telah diriwayatkan dala satu hadits
bahwasanya Jakfar bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu menari di hadapan Nabi
shallahu ‘alaihi wa sallam, ketika beliau bersabda, “ Engkau menyerupaiku dari
rupa dan akhlakmu “. Hal itu karena merasakan lezatnya pembicaraan Nabi padanya
dan Nabi pun tidak mengingkarinya…”. [6]
Madzhab
Hanbaliyyah. Menurut ulama Hanabilah, ar-Raqsh hukumnya makruh jika bertujuan
permainan, dan mubah jika ada hajat syar’iyyah. Imam Ahmad bin Hanbal pernah ditanya
tentang orang-orang shufi dan tarian mereka :
ﺇﻥّ ﻫﺆﻻﺀ ﺍﻟﺼﻮﻓﻴﺔ ﺟﻠﺴﻮﺍ ﻓﻰ ﺍﻟﻤﺴﺎﺟﺪ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺘﻮﻛﻞ ﺑﻐﻴﺮ ﻋﻠﻢ ”
ﻓﻘﺎﻝ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺃﺣﻤﺪ
”
ﺍﻟﻌﻠﻢ ﺃﻗﻌﺪﻫﻢ ﻓﻰ ﺍﻟﻤﺴﺎﺟﺪ ” ﻓﻘﻴﻞ ﻟﻪ ” ﺇﻥّ ﻫﻤّﺘﻬﻢ ﻛﺒﻴﺮﺓ ” ﻗﺎﻝ
ﺃﺣﻤﺪ ” ﻻ ﺃﻋﻠﻢ ﻗﻮﻣًﺎ
ﻋﻠﻰ ﻭﺟﻪ ﺍﻷﺭﺽ ﺃﺣﺴﻦ ﻣﻦ ﻗﻮﻡ ﻫﻤّﺘُﻬﻢ ﻛﺒﻴﺮﺓ ” ﻓﻘﻴﻞ ﻟﻪ ” ﺇﻧّﻬﻢ
ﻳﻘﻮﻣﻮﻥ ﻭ ﻳﺮﻗﺼﻮﻥ
”
ﻓﻘﺎﻝ ﺃﺣﻤﺪ “ ﺩﻋﻬﻢ ﻳﻔﺮﺣﻮﺍ ﻣﻊ ﺍﻟﻠﻪ ﺳﺎﻋﺔ
“ Sesungguhnya
mereka para shufi duduk di dalam masjid-masjid dengan tawakkal tanpa ilmu ?,
maka imam Ahmad menjawab, “ Mereka pakai ilmu, duduklah bersama mereka di
masjid-masjid “. Ada juga yang bertanya, “ Semangat mereka besar sekali “, imam
Ahmad menjawab, “ Aku tidak mengetahui suatu kaum di muka bumi ini yang lebih
baik dari kaum yang semangatnya besar “. Lalu ditanya lagi, “ Sesungguhnya
mereka (para shufi) itu berdiri dan menari-
nari “, maka
imam Ahmad menjawab, “ Biarkan mereka bergembira sesaat bersama Allah “. [7]
Al-Mardawi
mengatakan :
ﻭﺫﻛﺮ ﻓﻲ ﺍﻟﻮﺳﻴﻠﺔ : ﻳﻜﺮﻩ ﺍﻟﺮﻗﺺ ﻭﺍﻟﻠﻌﺐ ﻛﻠﻪ ، ﻭﻣﺠﺎﻟﺲ ﺍﻟﺸﻌﺮ
“ Disebutkan
dalam al-Wasilah, : Dimakruhkan ar-Raqsh dan semua yang bersifat permainan dan
majlis-majlis syi’ir“. [8]
Al-Bahuti
mengatakan :
( ﻭﻳﻜﺮﻩ ﺍﻟﺮﻗﺺ ﻭﻣﺠﺎﻟﺲ ﺍﻟﺸﻌﺮ ﻭﻛﻞ ﻣﺎ ﻳﺴﻤﻰ ﻟﻌﺒﺎ ) ﺫﻛﺮﻩ ﻓﻲ ﺍﻟﻮﺳﻴﻠﺔ
ﻟﺤﺪﻳﺚ ﻋﻘﺒﺔ ﺍﻵﺗﻲ ( ﺇﻻ ﻣﺎ ﻛﺎﻥ ﻣﻌﻴﻨﺎ ﻋﻠﻰ ﻗﺘﺎﻝ ﺍﻟﻌﺪﻭ ) ﻟﻤﺎ ﺗﻘﺪﻡ
“ Dan
dimakruhkan ar-Raqsh dan majlis-majlis syi’ir dan semua yang dinamakan
permainan. Telah disebutkan dalam al-Wasilah karena ada hadits Uqbah yang akan datang.
Kecuali ar-Raqsh atau permainan yang membantu atas memerangi musuh, sebagaimana
telah berlalu “. [9] Madzhab Malikiyyah. Imam ash-Shawi mengatakan :
ﻭﺃﻣﺎ ﺍﻟﺮﻗﺺ ﻓﺎﺧﺘﻠﻒ ﻓﻴﻪ ﺍﻟﻔﻘﻬﺎﺀ ، ﻓﺬﻫﺒﺖ ﻃﺎﺋﻔﺔ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻜﺮﺍﻫﺔ ،
ﻭﻃﺎﺋﻔﺔ ﺇﻟﻰ ﺍﻹﺑﺎﺣﺔ ،
ﻭﻃﺎﺋﻔﺔ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺘﻔﺮﻳﻖ ﺑﻴﻦ ﺃﺭﺑﺎﺏ ﺍﻷﺣﻮﺍﻝ ﻭﻏﻴﺮﻫﻢ ﻓﻴﺠﻮﺯ ﻷﺭﺑﺎﺏ
ﺍﻷﺣﻮﺍﻝ ، ﻭﻳﻜﺮﻩ ﻟﻐﻴﺮﻫﻢ
، ﻭﻫﺬﺍ ﺍﻟﻘﻮﻝ ﻫﻮ ﺍﻟﻤﺮﺗﻀﻰ ، ﻭﻋﻠﻴﻪ ﺃﻛﺜﺮ
ﺍﻟﻔﻘﻬﺎﺀ ﺍﻟﻤﺴﻮﻏﻴﻦ ﻟﺴﻤﺎﻉ ﺍﻟﻐﻨﺎﺀ ، ﻭﻫﻮ
ﻣﺬﻫﺐ ﺍﻟﺴﺎﺩﺓ ﺍﻟﺼﻮﻓﻴﺔ ، ﻗﺎﻝ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﻋﺰ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺴﻼﻡ : ﻣﻦ
ﺍﺭﺗﻜﺐ ﺃﻣﺮﺍ ﻓﻴﻪ
ﺧﻼﻑ ﻻ ﻳﻌﺰﺭ ﻟﻘﻮﻟﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ : } ﺍﺩﺭﺀﻭﺍ ﺍﻟﺤﺪﻭﺩ
ﺑﺎﻟﺸﺒﻬﺎﺕ { ، ﻭﻗﺎﻝ ﺻﻠﻰ
ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ : } ﺑﻌﺜﺖ ﺑﺎﻟﺤﻨﻴﻔﻴﺔ ﺍﻟﺴﻤﺤﺔ { ، ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻟﻠﻪ
ﺗﻌﺎﻟﻰ : } ﻭﻣﺎ ﺟﻌﻞ ﻋﻠﻴﻜﻢ
ﻓﻲ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﻣﻦ ﺣﺮﺝ { ﺃﻱ ﺿﻴﻖ
“ Adapun
ar-Raqsh, maka para ulama fiqih berbeda pendapat; sekelompok ulama
menghukuminya makruh, sekelompok lainnya menghukumi mubah dan sekelompok ulama
lainnya membedakannya di Antara orang-orang yang memiliki ahwal dan selainnya,
maka hukumnya boleh bagi orang-orang yang memiliki ahwal dan makruh bagi selainnya.
Inilah ucapan yang diridhai dan atas pendapat ini mayoritas ulama fiqih yang
membolehkan nyanyian, dan inilah madzhab para sadah shufiyyah. Imam Izzuddin
bin Abdissalam berkata, “ Barangsiapa yang melakukan suatu perkara yang masih
ada perbedaan pendapat di Antara ulama, maka tidak boleh dita’zir, karena Nabi
bersabda, “
Hindarilah
menghukum dengan perkara yang masih syubhat “, Allah juga berfirman, “ Allah
tidak menjadikan kesempitan dalam agama “. [10]
Madzhab
Hanafiyyah. Ibrahim al-Halbi al-Hanafi mengatakan :
ﻭﻣﺎ ﺫﻛﺮﻩ ﺍﻟﺒﺰﺍﺯﻱ ﻣﻦ ﺍﻹﺟﻤﺎﻉ ﻋﻦ ﺗﺤﺮﻳﻢ ﺍﻟﺮﻗﺺ ﻣﺤﻤﻮﻝ ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﺇﺫﺍ
ﺍﻗﺘﺮﻥ ﺑﺸﻲﺀ ﻣﻦ
ﺍﻟﻠﻬﻮ ﻛﺎﻟﺪﻑِّ ﻭﺍﻟﺸﺒَّﺎﺑﺔ ، ﻭﻧﺤﻮ ﺫﻟﻚ ، ﺃﻭ ﺑﺎﻟﺘﻜﺴﺮ ﻭﺍﻟﺘﻤﺎﻳﻞ ،
ﻭﺃﻣَّـﺎ ﻣﺠﺮﺩ ﺍﻟﺮﻗﺺ
ﻓﻤﺨﺘﻠﻒ ﻓﻲ ﺣﺮﻣﺘﻪ
“ Dan apa yang
telah disebutkan oleh al-Bazzaazi tentang adanya ijma’ keharaman ar-Raqsh, maka
itu diarahkan jika disertai sesuatu yang bersifat permaianan seperti daff dan syabbabah
atau dengan adanya goyangan (alay seperti bencong). Adapun hanya ar-Raqsh
(tarian) semata, maka hukumnya ada perbedaan di Antara ulama “.[11]
Ibnu Abidin
mengatakan :
( ﻗﻮﻟﻪ ﻭﻛﺮﻩ ﻛﻞ ﻟﻬﻮ ) ﺃﻱ ﻛﻞ ﻟﻌﺐ ﻭﻋﺒﺚ ﻓﺎﻟﺜﻼﺛﺔ ﺑﻤﻌﻨﻰ ﻭﺍﺣﺪ ﻛﻤﺎ ﻓﻲ
ﺷﺮﺡ
ﺍﻟﺘﺄﻭﻳﻼﺕ ﻭﺍﻹﻃﻼﻕ ﺷﺎﻣﻞ ﻟﻨﻔﺲ ﺍﻟﻔﻌﻞ ، ﻭﺍﺳﺘﻤﺎﻋﻪ ﻛﺎﻟﺮﻗﺺ ﻭﺍﻟﺴﺨﺮﻳﺔ
ﻭﺍﻟﺘﺼﻔﻴﻖ
ﻭﺿﺮﺏ ﺍﻷﻭﺗﺎﺭ ﻣﻦ ﺍﻟﻄﻨﺒﻮﺭ ﻭﺍﻟﺒﺮﺑﻂ ﻭﺍﻟﺮﺑﺎﺏ ﻭﺍﻟﻘﺎﻧﻮﻥ ﻭﺍﻟﻤﺰﻣﺎﺭ
ﻭﺍﻟﺼﻨﺞ ﻭﺍﻟﺒﻮﻕ ، ﻓﺈﻧﻬﺎ
ﻛﻠﻬﺎ ﻣﻜﺮﻭﻫﺔ ﻷﻧﻬﺎ ﺯﻱ ﺍﻟﻜﻔﺎﺭ
“ Ucapan : Dan
dimakruhkan semua permaianan. Yakni semua permainan, tiga perkara itu bermakna
satu sebagaimana dalam syarh at-Takwilat, dan memuthlakkannya mencangkup
perbuatan itu sendiri. Mendengarkannya sama seperti ar-Raqsh (menari), ejekan, bertepuk
tangan dan memetik senar mandolin, rabab, terompet dam simbal, maka semua itu
hukumnya makruh
karena itu
hiasan kaum kafir “[12]
Kesimpulan
dari pendapat ulama fiqih :
1. Hukum
ar-Raqsh (Tarian), para ulama berbeda pendapat; menurut madzhab Syafi’iyyah
hukumnmya diperinci; jika tidak ada goyangan sebagaimana perilaku bencong
(laki-laki yang berpura-pura jadi perempuan), maka hukumnya boleh, jika ada
maka hukumnya haram. Menurut madzhab Hanbaliyyah hukumnya makruh jika ada unsur
permainanannya. Menurut madzhab Malikiyyah hukumnya diperinci. Menurut madzhab
Hanafiyyah hukumnya makruh. Dan ada sebagian ulama yang menghukumi haram.
2. Ar-Raqsh
masih dalam persoalan ijtihadiyyah furu’iyyah di Antara ulama, maka tidak sepatutnya
terjadi perseteruan keras dalam hal ini.